Pertumbuhan dan pamor kendaraan listrik di Indonesia kian menjadi buah bibir sejak sekitar awal 2020. Belakangan, sorotan publik pun meningkat terhadap pertumbuhan industri penyokong kendaraan listrik, yaitu baterai.
Salah satu elemen utama pembentuk baterai listrik adalah nikel. Secara tradisional, nikel kadar rendah umumnya telah dipakai sebagai bahan baku membuat baja nirkarat. Adapun nikel kadar tinggi merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik yang lebih dikenal sebagai baterai jenis nickel, mangan and cobalt (NMC).
Dengan sumber daya nikel berlimpah, Indonesia menguasai 51 persen dari total produksi nikel global. Seperti dilaporkan U.S. Geological Survey, pada 2022 Indonesia menghasilkan 1,6 juta metrik ton bijih nikel, meningkat 53 persen dari 2021. Fakta ini menempatkan status Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Menilik ke wilayah Indonesia bagian tengah, terdapat dua pabrik utama telah beroperasi untuk memproduksi katoda baterai sebagai komponen baterai kendaraan listrik. Pabrik ini dikembangkan oleh PT Huayue Nickel Cobalt dan PT QMB New Energy Material di dalam kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Sementara itu, dua perusahaan lain tengah mengembangkan pabrik serupa, yaitu PT Fajar Metal Industry dan PT Teluk Metal Industry.
Adapun total kapasitas produksi katoda baterai EV dari keempat pabrik tersebut, yakni mencapai 240.000 metrik ton nikel kobalt dan nikel sulfida. PT Huayue Nickel Cobalt memiliki kapasitas produksi katoda sebesar 70.000 ton nikel kobalt (Ni-Co) per tahun, sedangkan PT QMB New Energy Material menghasilkan nikel sulfida dan nikel kobalt (Ni-Co) dengan kapasitas 50.000 ton per tahun. (Majalah Klaster edisi 5, Februari 2019).
PT QMB Indonesia yang diresmikan pada 26 September 2022, berhasil membuka jalur produksi pabrik hidrometalurgi yang menjadi mekanisme pemurnian nikel untuk baterai listrik. Keberadaannya mendorong keberhasilan pemurnian bahan baku nikel yang lebih berdaya guna.
Dibanding beberapa tahun sebelumnya, smelter cenderung diperuntukkan memenuhi kebutuhan pengembangan industri besi dan baja. Namun lambat laun pendirian smelter di kawasan IMIP telah mampu mendukung proses produksi baterai listrik.
Munculnya ‘Produk Baru’ Baterai LFP
Di tengah pertumbuhan baterai listrik NMC, belakangan muncul teknologi baterai listrik jenis baru yang dinamai Lithium Ferro Phosphate (LFP). Kehadirannya merupakan salah satu jenis baterai lithium-ion sebagai sumber energi baru dalam dunia teknologi energi.
Dihimpun dari berbagai sumber, baterai listrik jenis LFP didominasi kandungan phospate (60%), sedangkan baterai NMC sebanyak 80% nikel. Pengembangan baterai Nikel Mangan Kobalt (NMC 811) bergantung pada nikel berkomposisi tinggi, yakni katoda dengan nikel 80 persen, mangan 10 persen, dan kobalt 10 persen.
LFP merupakan baterai penunjang kendaraan listrik yang mengandung komponen lithium (Li) 4%, ferro/ besi (Fe) 35%, dan phospate (PO4) 60%. Sumber bahan baku utama untuk membuat baterai listrik LFP ialah phospate (fostat).
Dengan perbedaan karakter di atas dan dipengaruhi situasi pasar global, sejumlah pelaku industri menunjukkan peningkatan minat pada baterai berbasis LFP. Beberapa perusahaan baterai dunia telah berfokus pada LFP, misalnya Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL), BYD, dan Wuling.
Selain harganya lebih murah dibanding nikel, minat produsen kendaraan listrik terhadap LFP dipengaruhi oleh kebijakan penutupan ekspor bijih nikel pada 2020, dan makin terbatasnya stok nikel dunia. Maka dari itulah, produsen lantas mencari alternatif.
Walaupun begitu, baterai jenis NMC (Nickel Mangan Cobalt) masih menguasai sekitar 60% pangsa pasar global. seperti termuat dalam Studi Global EV Outlook 2023, nilai tersebut menandingi pasokan LFP (Lithium Ferro Phosphate) 30%, dan sisanya sekitar 8% NCA (Nickel Cobalt Alumunium Oxide).
Apa Sajakah Perbedaan Keduanya?
Baterai berbasis iron (LFP) dan nikel (NMC) memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Menurut Lithium Marketing Director ABC Battery Hermawan Wijaya, dari sisi safety, baterai berbasis LFP lebih unggul karena tidak mudah terbakar, sedangkan baterai berbasis nikel, termasuk NMC, lebih mudah terbakar.
Namun, sifat NMC yang mudah panas ketika diisi daya merupakan kekhasan yang dapat disebut sebagai keunggulan tapi juga kekurangan. Baterai NMC menjadi unggul bila pengguna menginginkan baterai lebih cepat panas sehingga dapat segera dipakai.
Lebih detail disebutkan, masa pemakaian baterai berbasis iron (LFP) bisa dua kali lipat lebih panjang daripada baterai NMC. Kelemahan usia pakai baterai nikel NMC yang lebih pendek dipengaruhi kepadatan energinya (energy density) jauh lebih besar. Artinya dimensi, berat, atau volume NMC sedikit lebih berat dibandingkan LFP.
Ringkasan Perbedaan Baterai NMC dan LFP
NO. | ASPEK | Baterai NMC | Baterai LFP |
1. | Ketersediaan Pasokan | Jarang; harga dan pasokan fluktuatif (kurang stabil/ menentu) | Berlimpah; biaya produksi cenderung lebih murah. |
2. | Toleransi suhu | 210° Celsius, toleransi terhadap panas lebih rendah, risiko keselamatan tinggi. | 270° Celsius; toleransi lebih tinggi terhadap panas sehingga lebih aman dan stabil. |
3. | Masa hidup | 3–4 tahun | 7–8 tahun |
4. | Siklus Hidup | 800–1.000 kali | 2.500 kali |
5. | Kepadatan energi (Wh/kg) | 200; kepadatan energi tinggi sehingga kemampuan daya lebih baik cocok untuk kecepatan dan akselerasi. | 160; cocok untuk mobil perkotaan |
6. | Rata-rata biaya (dolar AS/kWh) | 130 | 90 (lebih murah) |
(data intisari dari Tirto.id)
Dengan memperhatikan sumber daya nikel dan fosfat sebagai bahan baku utamanya, kita dapat menakar seberapa besar potensi pengembangan antara NMC dan LFP di Indonesia.
Selama ini unsur fosfat di Indonesia lebih banyak tersedia di Pulau Jawa. Beberapa area penyimpan sumber daya alam fosfat guano di Pulau Jawa terdapat di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Disusul area lain di Aceh, Kalimantan Selatan, dan Papua Barat. Secara total, Indonesia memiliki potensi sumber daya fosfat sebanyak 23,33 juta ton.
Sementara itu, daerah penghasil nikel untuk baterai jenis NMC lebih banyak tersimpan dalam bumi di area Indonesia bagian timur, terutama Sulawesi, Maluku, dan Papua. Secara rinci dan berurut, wilayah terluas penghasil nikel ialah Sulawesi Tenggara, disusul Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Maluku, kemudian Papua dan Papua Barat.
Adapun hingga Februari 2024, pemerintah Indonesia belum memiliki rencana konkret untuk menindaklanjuti kabar penemuan potensi cadangan litium di beberapa wilayah Tanah Air. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah masih perlu memastikan dan memikirkan masak-masak tipe investasi yang paling menguntungkan bagi Indonesia terkait pemanfaatan sumber daya mineral bahan baku baterai kendaraan listrik.
Temuan litium juga baru sebatas perkiraan potensi. Untuk mencapai tahap eksplorasi, masih dibutuhkan waktu yang sangat panjang.
“Dari sana kita bisa lihat apa cadangannya ekonomis atau tidak, tahapannya masih panjang itu. Kalau sudah kita dapatkan, baru kita buat perencanaannya,” ujar Bahlil, akhir Januari 2024 dilansir Bloomberg.