PT Indonesia Morowali Industrial Park

Tradisi Ndengu-ndengu, Khas Morowali Bangunkan Sahur 

Picture of Suprianto
Suprianto

Thursday, 21 March 24

tradisi ndengu-ndengu
Ilustrasi tradisi Ndengu-ndengu. (Dok. Media Relations PT IMIP)

Setiap berkunjung ke wilayah Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) saat bulan suci Ramadan, maka anda akan melihat pemandangan yang unik dan indah di beberapa tempat baik di halaman masjid ataupun di belakang pemukiman warga. Sebuah menara bambu memiliki ketinggian 5 hingga 19 meter berdiri menjulang tinggi ke atas langit dengan lampu hias kelap-kelip pada malam hari.

Diatas pucuk menara itu ada rumah kecil yang dibuat dari pohon bambu dengan atap rumbia, lantai papan, dinding kayu balok dan tripleks. Isi dalam rumah kecil itu terdapat satu set alat musik tradisional yaitu gong kecil, gong besar, gendang dan pede-pede atau besi bundar. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Ndengu-ndengu.

Kehadiran Ndengu-ndengu tersebut sangat disukai anak-anak muda warga sekitar. Hal itulah yang membuat para orang tua sangat mendukung Ndengu-ndengu terus dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal. Selain punya histori dalam sejarah warga Bungku, juga menjadi ajang kreativitas anak muda di kampung.

Ndengu-ndengu merupakan tradisi masyarakat Bungku yang hanya bisa dijumpai ketika bulan suci Ramadan tiba. Pada saat Ramadan, Ndengu-ndengu ini digunakan untuk memeriahkan bulan yang suci dan membangunkan masyarakat sekitar saat waktu sahur. Inisiatif membangunkan sahur memang sudah tumbuh dalam masyarakat muslim Bungku sejak masuknya peradaban Islam.

Sebagai orang baru dan pertama kali berkunjung ke Kota itu, pasti akan bertanya-tanya apa sebenarnya bangunan tersebut setelah melakukan penelusuran dengan mendatangi beberapa tempat berdirinya Ndengu-ndengu. Bahkan di setiap desa ada yang memiliki 2 hingga 3 buah Ndengu-ndengu

Ndengu-Ndengu dibangun sejak 10 hari sebelum Ramadan yang dilakukan secara gotong royong oleh remaja masjid, dan karang taruna di wilayah itu. Pengerjaan Ndengu-ndengu dimulai dengan pemilihan bambu yang sudah tua, panjang dan lurus. Selain bambu, digunakan pula tali nilon sebagai pengikat, atau karet ban dalam motor untuk mengikatnya lebih erat dan kuat. 

Setelah semua bahan pembangunan Ndengu-ndengu sudah terkumpul barulah mulai dibangun. Pertama menancapkan empat buah bambu untuk penyangga. Ukuran lebar dan ketinggian tergantung selera. Biasanya ketinggian dilihat dari ketinggian bambu. Sedangkan untuk luas dasar Ndengu-ndengu juga bervariasi mulai dari empat hingga delapan meter. 

Kemudian pemasangan batang bambu dengan menyilang di masing-masing empat penyangga itu sebagai pengunci. Selanjutnya memasangkan kancingan pada masing-masing penyangga itu hingga sampai keatas. Pekerjaan akan lebih cepat jika lebih banyak orang yang terlibat untuk bergotong royong.

Seorang pemerhati budaya Bungku, Asgar Husen (46 tahun) merupakan anak dari juru tulis di Kerajaan Bungku semasa kepemimpinan Raja Abdul Razak dan Raja Abdul Rabbie. Cerita soal ndengu-ndengu ini didapat dari Sang Ayah.

Ia menjelaskan, Ndengu-ndengu ada dua bagian yaitu bangunan menara dan rumah-rumah yang ada dipucuk menara disebut Raha Sampela, bagian keduanya yaitu alat-alat musik yang ada di dalam rumah-rumah itu. Alat musik inilah yang disebut Ndengu-ndengu atau bunyi bunyian. Namun mengikuti perkembangan zaman, Raha Sampela dan semua yang ada di dalamnya dikenal dengan sebutan Ndengu-ndengu.

“Ndengu-ndengu sudah ada dari dulu, namanya Raha Sampela yang fungsinya dalam lingkungan Kerajaan Bungku itu sebagai menara pengawas. Ketika ada kejadian-kejadian seperti kebakaran, ada tamu kerajaan yang datang maka dibunyikan dulu, kemudian untuk sarana komunikasi dan memantau musuh. Namun bahannya masih sangat tradisional dengan berbahan kulit, bambu dan kayu,” jelas Asgar dengan sumbringah.

Menurut Asgar, sejarah Ndengu-ndengu dulu awalnya Kerajaan Bungku selalu memberikan bala bantuan waktu pertempuran Sultan Hasanudin Kerajaan Goa. Sebagai rasa terimakasih Kerajaan Goa kepada Kerajaan Bungku kala itu, maka dikirimlah satu set tetabuhan berbahan logam dan kuningan yang sekarang dinamakan Ndengu-ndengu. Satu set tetabuhan itu dibunyikan lalu berdengun sehingga diberi nama oleh masyarakat Bungku kala itu dengan Ndengu-ndengu

Sebelum masuknya Islam, Ndengu-ndengu sudah ada di zaman Kerajaan Bungku yang digunakan sebagai menara pengawas. Dulu ada tradisi di Bungku yaitu upacara monsa’u inia atau zakat negeri, biasa dikenal dengan zakatnya masyarakat Bungku yang menjadi cikal bakal digunakan Raha Sampela. Kemudian dibunyikan Ndengu-ndengu untuk memanggil masyarakat berkumpul ditempat upacara monsa’u inia itu, hingga dipakai sekarang saat bulan Ramadan. 

Ndengu-ndengu memiliki nilai budaya sangat banyak yang dapat dipetik antara lain, semangat gotong royong, kekompakan, silaturahmi di momen-momen Ramadan. Rangkaian ritual pembangunan Ndengu-ndengu dalam lingkungan Kerajaan dulu, pertama ada upacara pembangunannya dengan menggunakan bambu yang kuning dan ikatannya pakai tali ijuk, untuk ikatan pertamanya menggunakan kain putih.

“Untuk tingkatan bangunan Ndengu-ndengu dulu harus ganjil yaitu 7 meter, 13 meter, 17 meter dan 19 meter. Bangunannya dengan dinding setengah, dan atapnya bagian dari dinding. Jika akan dibunyikan, maka atapnya harus diangkat agar suara Ndengu-ndengu kedengaran hingga jauh. Dan diatasnya itu ada lafardu huruf alif yang merupakan simbolis dari Islam Bungku,” kata Asgar.

Bungku Tengah satu lingkup masyarakat yang majemuk karena merupakan daerah tertutup dan Ibukota Kerajaan Bungku sehingga pelaksanaan monsa’u inia dilakukan di Kota itu. Tradisi itu merupakan tradisi Kerajaan yang kemudian diadobsi oleh masyarakat setempat sehingga Ndengu-ndengu kebanyakan berkembang di Bungku Tengah. 

Asgar mengatakan, Ndengu-ndengu memiliki nilai positif, karena membangunkan orang sahur yang membuat generasi muda mencintai budayanya sehingga perlu dilestarikan. Dalam melestarikan tradisi Ndengu-ndengu ini setiap desa memberikan bantuan pembiayaan untuk membangun. Setelah dibangun, dalam pelaksanaannya juga diperlombakan yang dinilai dari tim Kabupaten Morowali.

Asgar berpesan pada para pemuda di Bungku agar kearifan lokal tetap dijaga dan diperhatikan. Budaya itu mempunyai ciri khas masing-masing untuk dikembangkan. Saat ini sudah dikembangkan dengan hiasan lampu listrik yang memperindah tampilan Ndengu-ndengu itu. 

“Antusisme pemuda terlihat cukup tinggi dalam membangun Ndengu-ndengu. Dulu, kami berlomba membuat Ndengu-ndengu dari ketinggiannya. Jadi, kita antusias ambil bambu yang besar dan paling tinggi. Bagus tidaknya Ndengu-ndengu pertama dilihat dari tingginya,” ucap Asgar.

Para remaja dan anak-anak memang kebagian tugas untuk menjalankan tradisi membangunkan sahur ini. Mereka kerap menghabiskan waktu sejak salat tarawih hingga pengujung sahur di atas menara.

Selama kami mengobrol, Asgar terdengar bersemangat. Namun bukan berarti dirinya tak punya kegelisihan. Ia bilang bahwa cerita soal ndengu-ndengu ini sekarang lebih sering dituturkan, dan minim dituliskan dalam karya ilmiah nan serius. Ia berharap suatu saat ada yang mau menuliskan cerita ndengu-ndengu dalam sebuah buku, sehingga bukti dan dasar kesejarahannya lebih autentik, tak sekadar jadi cerita mulut ke mulut.

Ditempat terpisah, penasehat tokoh adat Bungku, Hasyim Sonaru mengatakan, Ndengu-ndengu diawali dengan masuknya islam di Bungku yang dipengaruhi dari Kerajaan Ternate.  Saat itu, Ndengu-ndengu digunakan untuk menghormati dan menyambut tamu yang masuk di Bungku. 

Hasyim berharap tradisi Ndengu-ndengu agar dilestarikan karena ciri khasnya Kabupaten Bungku. Pemerintah daerah juga memikirkan supaya membantu peralatan di tiap-tiap desa, supaya semua desa memiliki peralatannya. Saat ini hanya sekitaran Bungku ini Ndengu-ndengu dilestarikan.

Setiap memasuki bulan suci Ramadan, khususnya kalangan anak muda dan remaja di Bungku, memainkan tradisi Ndengu-ndengu. Anak muda memainkan tanpa di perintah oleh kepala desa. Sebelum Ramadan anak-anak muda berlomba setiap desa membuat Ndengu-ndengu di halaman tiap-tiap masjid.

“Memasuki sepertiga malam terakhir, menara-menara bambu itu akan semarak dengan musik. Mulai dari tetabuhan bebunyian gong dan kolintang. Lalu, dari pucuk menara, juga terdengar sahutan orang-orang nan semarak. Mereka mengingatkan warga muslim untuk segera bangun, dan melaksanakan sahur,” tutup Hasyim. 

Share this post

Facebook
LinkedIn
WhatsApp
X
Telegram